ANDA MEMASUKI DUNIA HANTU JURNAL..SELAMAT MEMBACA

Sabtu, 02 Oktober 2010

RESIKO JADI ORANG KAMPUNG
Oleh : Alif Hasanah

Banyak orang pendapat bahwa tinggal di kampung sangat menyenangkan. Sebab, selain udaranya yang masih segar dan alami, juga terhindar dari kebisingan suara-suara kendaraan yang bisa mengganggu waktu istirahat. Selain itu pula, panorama alam yang terdapat di kampung bisa menghilangkan stress dan menghadirkan ketenangan batin, makanya banyak orang-orang perkotaan yang terkadang menghabiskan waktu liburnya di kampung.

Namun tidak hanya kesenangan yang dirasakan, melainkan ada juga kekurangan. Berikut ini, beberapa kekurangan yang dirasakan oleh masyarakat yang hidup dan mencari hidup di kampung, khususnya pada masyarakat Desa Gunung Sejuk Kecamatan Sampolawa Kabupaten Buton. Hal ini berdasarkan pengamatan dan pengalaman penulis yang juga berasal dari kampung tersebut.
1.    Kurangannya akses informasi
Dewasa ini, kalau kita tidak mengenal dan tidak mampu mengoperasikan internet, HP, laptop, maka kita akan tergolong orang-orang yang terbelakang. Sebab kita tidak akan mengetahui berbagai informasi tentang dinamika yang terus terjadi di dunia ini. Hal inilah yang dirasakan oleh masyakarat Desa Gunung Sejuk. Kurangnya akses informasi, menyebabkan mereka tidak mampu mengembangkan desa mereka untuk bersaing dengan desa-desa lain yang ada di Kabupaten Buton. Ditambah lagi kebijakan-kebijakan pemerintah kabupaten yang sering mendiskreditkan desa Gunung Sejuk
.
Setiap ada kompetisi-kompetisi tingkat kabupaten, propinsi, maupun nasional, sering kali mereka ketinggalan informasi. Padahal potensi yang dimiliki oleh anak-anak gunung sejuk terutama di bidang pendidikan dan olah raga cukup mengagumkan. Mereka hanya mampu mengembangkan potensi tersebut sampai pada tingkat kecamatan, sekalipun ada satu atau dua orang yang sudah pernah mewakili Sulawesi Tenggara pada ajang olimpiade pelajar tingkat nasional bidang olah raga di Jakarta. 
Tidak hanya itu, kurangnya akses informasi juga menyebabkan siswa-siswi yang ingin melanjutkan pendidikan pada jenjang perguruan tinggi, sering kali ketinggalan bahkan tidak mendapat informasi. Terutama terkait dengan program bebas tes masuk perguruan tinggi serta program beasiswa yang disiapkan oleh pemerintah. Seperti program beasiswa bidik misi yang diberikan kepada siswa-siswi yang tidak mampu tetapi berprestasi yang ingin melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Akhirnya mereka lebih memilih untuk merantau, menikah (setelah lulus SMA), dan bahkan ada yang berdiam diri di kampung (menganggur).

2.    Sarana dan prasarana yang belum memadai
Hal lain yang terpenting dan harus dimiliki oleh suatu kampung adalah sarana dan prasarana sebagai penunjang keberlangsungan hidup masyarakat kampung tersebut, seperti rumah sakit, puskesmas, masjid, sekolah,dan jalan raya.

Di Desa Gunung Sejuk keberadaan sarana dan prasarana masih belum memadai. Hanya ada 1 puskesmas, 2 buah sekolah dasar, 1 buah SMP, 1 buah SMA swasta, serta 3 buah masjid.
Minimnya sarana dan prasarana utamanya sekolah (Sekolah Dasar) tidak mampu membendung animo para orang tua untuk menyekolahkan anaknya dan terpaksa harus menunggu tahun depan.

Keberadaan 2 buah Sekolah Dasar itu tidak mampu menampung banyaknya murid-murid yang ingin bersekolah pada tahun itu. Hal ini dikarenakan 2 buah SD itu tidak hanya menampung anak-anak dari Desa Gunung Sejuk, malainkan juga anak-anak dari desa lain yaitu Desa Lipumangau yang terletak di sebelah Desa Gunung Sejuk.

Melihat berbagai kekurangan yang ada di Desa Gunung Sejuk, penulis menghimbau kepada pemerintah kabupaten, agar bersikap obyektif dalam menangani berbagai permasalahan yang ada di Kabupaten Buton. Prioritaskanlah desa-desa yang benar-benar membutuhkan bantuan pembangunan infrastruktur seperti jalan raya, puskesmas, sekolah, mesjid, dan hal-hal lain yang menjadi kebutuhan masyarakat desa tersebut. Sehingga pemerataan kesejahteraan masyarakat dapat tercapai.
Terkhusus untuk masyarakat desa Gunung Sejuk, penulis menghimbau agar bersikap sabar dalam menghadapi berbagai permasalah tersebut, sebab itulah resiko menjadi orang kampung.

KINERJA DPU KURANG MAKSIMAL

OLEH
S I T I  Z U L D A
Pemerintah utama DPU (Dinas Pekerjaan Umum) berupaya melakukan berbagai macam pembangunan guna meningkatkan fasilitas perkembangan daerah dan juga demi kemaslahatan rakyat. Tapi melihat perkembangan yang ada, pemerintah utamanya pada DPU yang melakukan berbagai pembangunan atau pembuatan jalan serta lain-lainnya, yang hanya sekedar membuat saja tanpa kurang mempedulikan kualitas dari apa yang telah dibuat. Hal ini sesuai dengan fakta yang terjadi disekitar kita. Tanpa ada maksud untuk melakukan  fitnah atau gossip belaka atas kinerja DPU, tapi seperti yang dapat kita lihat sekarang ini, banyak pembangunan-pembangunan yang dilakukan namun tidak cukup maksimal penggunaannya. Contoh kecilnya seperti pengaspalan jalan-jalan umum, pembuatan jembatan dan masih banyak lagi. Kasus kecil yang banyak terjadi disekitar kita adalah seperti pengaspalan jalan raya yang dalam waktu kurun baru beberapa bulan saja pengaspalannya dilakukan, sudah banyak yang bolong-bolong alias lubang-lubang yang cukup mengganggu pengguna jalan tersebut. contoh lain lagi adalah pembuatan jembatan penyeberangan yang belum lama pemakaiannya justru sudah ambruk duluan. Opini yang berkembang atas hal tersebut adalah adanya kesalahan kontruksi pembuatannya tersebut. kerusakan jalan dan juga jembatan ambruk yang rusak selain bencana alam, ada juga penyebab lainnya yaitu 1. human error (banyak penjabarannya termasuk didalamnya manipulasi spesifikasi), 2. design error. Sehingga perlu diperiksa oleh ahli desain dari pihak lain. Namun, faktor human error mungkin lebih dominan dalam kasus ini.

Apakah memang hal tersebut diakibatkan kesalahan kontruksinya? Atau dari proses pembuatannya yang bahan-bahan materialnya tersebut kurang berkualitas yang menyebabkan penggunaannya itu tidak dapat bertahan lama? 
Sungguh,  proses pembangunan fisik sudah terlalu dalam masuk ke zona perpolitikan, sehingga pembuatan pembangunan fisik terkadang hanya sebagai ajang untuk mencari keuntungan dari pihak-pihak tertentu. Hal ini memungkinkan dari pihak-pihak  tertentu yang memenangkan tender pembangunan tersebut mengkin menggunakan bahan-bahan material yang kurang berkualitas sehingga hal tersebutlah yang membuat pembangunan tidak dapat bertahan lama akibat dari bahan dasar materialnya yang berkualitas rendah.

Lantas, bagaimanakah pemerintah menanggapi hal tersebut??? Apakah seperti itu kinerja dari DPU? Siapa yang mau bertanggung jawab hal atas hal tersebut? Tentunya DPUlah yang jadi sorotan menegenai hal ini atas kinerjanya yang kurang maksimal, atau bahkan hanya asal-asalan.  Lantas siapa yang dirugikan  kalau bukan masyarakat? Karena sebagian besar pendanaan tentunya dari APBD yang notabene dari masyarakat. Lantas, harus bagaimana soslusinya? Salah satunya adalah DPU ada baiknya mengaudit proses-prosesnya apa sudah dilaksanakan seluruhnya dengan baik dan benar serta ikut memonitoring pelaksanaan dan perawatan konstruksinya.

Simpel saja, semua ini takkan terjadi bila asas pembangunan untuk kemaslahatan seluruh masyarakat, bukan golongan, bahkan bukan pribadi.

Jumat, 01 Oktober 2010

MEMPERKETAT SERTIFIKASI GURU

oleh : 
Hikmah

PERNYATAAN Mendiknas dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi dan Kompetensi Guru, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi bagi Guru dalam Jabatan yang orientasinya untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Hal ini ditempuh karena adanya tingkat kelulusan dan mutu pendidikan yang dihasilkan masih menimbulkan pro dan kontra dari segenap masyarakat Indonesia.
Terkait dengan itu, maka harus ada tim ahli yang menangani atau memverifikasi usul tentang guru yang akan mengikuti sertifikasi, apakah ia layak atau tidak untuk meraih status sertifikasi. Tim-tim ahli ini harus terbagi dalam tingkatan-tingkatan yakni tingkat SMP dan SMA.

Simbol Sertifikasi Guru

Di dalam dunia pendidikan sertifikasi guru merupakan tingkat profesionalisme guru. Seorang guru yang telah lulus sertifikasi harus mampu menguasai keahlian yang ditekuninya. Indikatornya adalah yang bersangkutan mampu menghasilkan output siswa yang kompeten dan bermutu yang dapat dilihat pada tingkat kelulusan yang semakin meningkat. Sekitar 200.000 guru, sejak 2006 hingga akhir 2007, tergopoh-gopoh mengikuti program sertifikasi profesi guru guna memperoleh tunjangan profesi sebagaimana diamanatkan UU Guru dan Dosen. Guru yang berhak ikut, yang sudah mengantongi ijasah S1 dan diajukan  kabupaten/kotamasing-masing Kabupaten/kota ini, memiliki kuota pemberian Depdiknas kepada LPTK (Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan). Para guru diuji kompetensinya melalui setumpuk dokumen bukti kompetensi, seperti sertifikat pelatihan, kemampuan membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), penghargaan dan lainnya. Jika nilai uji dokumen tersebut kurang dari 850, dan peserta tidak melakukan kecurangan (pemalsuan dokumen, menyogok dll), maka mereka dinyatakan tidak lulus uji portofolio dan berhak mengikuti Pendidikan dan Latihan (Diklat) Profesi Guru selama 90 jam. Setelah diklat usai, mereka diuji kembali. Jika lulus, guru berhak memperoleh sertifikat profesi pendidik dan tunjangan sebesar sekali gaji PNS.   

Dari hasil monitoring proses sertifikasi tersebut, ternyata persentase kelulusan guru sesudah mengikuti pendidikan dan pelatihan profesi melebihi 90%, yang tidak lulus hanyalah mereka yang sejak uji portofolio terbukti melakukan kecurangan dan pemalsuan dokumen. Kelulusan sertifikasi portofolio dan diklat yang setinggi itu memang sedikit mencurigakan dan menimbulkan dugaan bahwa mutu guru yang lolos sertifikasi maupun yang tidak, sama buruknya. Pada rancangan diklat profesi guru tahun 2008, bagi peserta yang tidak lulus uji portofolio tahun 2006 dan 2007, tampak itikad untuk meluluskan guru yang tidak lulus sertifikasi portofolio, karena komponen uji kompetensi profesinya berbobot sangat rendah. Ketika guru peserta diklat tidak pernah absen dan dinilai baik oleh teman sejawatnya dan ikut ujian, Sudah Bisa Dipastikan Akan lulus. Artinya, proses sertifikasi secara keseluruhan memang terbukti tidak ada kaitan dengan peningkatan mutu guru. Padahal, setiap peserta dianggarkan Rp 2 juta. Tunjangan profesi juga dipertanyakan maknanya, karena terbukti yang lulus belum kompeten secara profesional (Depdiknas 2004). Untuk hal-hal ini, pemerintah Menyisihkan Uang Rp 400 miliar.



Banyak sedikitnya siswa yang tidak lulus dalam ujian nasional tentu saja terkait dengan profesionalisme guru yang telah mengikuti sertifikasi. Jika ingin meningkatkan mutu profesional guru, uji portofolio harus menjadi tes awal kompetensi guru. Ketika guru tidak lulus, karena memang kurang profesional, maka dilakukan diklat profesi dengan materi yang sesuai untuk menutupi kekurangan tersebut. Secara teknis memang rumit, tetapi tidak ada jalan menuju perbaikan mutu yang mudah dan cepat. Program pendidikan profesi selama setahun, meski disokong peraturan perundangan, mesti dikontrol ketat, karena dikuatirkan hanya akan mendidik guru menjadi ilmuwan pendidikan (Education Scientist), bukan Guru Profesional Yang Terampil mendidik.

Bukan Sekadar Status Sosial

Guru yang lulus sertifikasi merupakan jabatan yang disandang oleh seorang guru yang telah profesional di bidangnya. Maka seorang guru yang telah memperoleh gelar ini mestinya menjadi penggerak utama dalam pendidikan. Guru sertifikasi tentunya harus memiliki kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogik, kompetensi profesional dan kompetensi sosial. Jika seorang guru yang telah lulus sertifikasi tidak menghasilkan output siswa yang bermutu, tentu bisa dipertanyakan kesertifikasiannya.

Menurut robert K. Merton, seseorang akan memiliki dua fungsi sekaligus di dalam relasinya dengan dunia sosial. Ada yang disebutnya sebagai fungsi manifes dan fungsi laten. Fungsi manifes guru sertifikasi adalah sebagai tenaga pendidik profesional yang diyakini mampu melaksanakan tugas mendidik, mengajar, melatih, membimbing, dan Menilai Hasil Belajar Peserta didik. Selain itu, fungsi laten guru sertifikasi adalah meningkatnya status sosial di masyarakat dan meningkatnya gaji PNSnya.

Oleh karena itu, yang terpenting adalah bagaiman menyeimbangkan antara fungsi manifes dan fungsi laten. Jangan sampai Cuma fungsi laten yang di utamakan yang akan mengakibatkan sikap sombong dan tidak bermutunya sertifikasi guru yang telah diikutunya. Justru yang lebih penting adalah bagaimana mengembangkan fungsi manifes dalam dunia pendidikan yang orientasinya pada peningkatan mutu pendidikan.

Adanya anggapan bahwa rendahnya kualitas pendidikan disebabkan oleh rendahnya kesejahteraan guru. Maka pemerintah pun telah banyak melakukan usaha-usaha untuk mensejahterakan guru yang salah satunya adalah menaikkan anggaran sektor pendidikan. Apabila jalan kesejahteraan guru yang ditempuh oleh pemerintah yang mungkin dapat dilihat pada 5 atau 10 tahun mendatang, ternyata tidak meningkatkan kualitas pendidikan maka anggapan ini sangatlah keliru. Artinya, rendahnya kualitas pendidikan tidak disebabkan oleh kesejahteraan guru tetapi semata-mata karena kinerja guru-guru.

Beban dan tanggung jawab ke depan adalah bagaimana meningkatkan kualitas pendidikan untuk mencetak pemuda-pemudi yang kompeten dan bermutu agar setara dengan negara-negara lain di dunia. Sebab di tangan pemudalah tonggak kebangkitan bangsa ini. Tentu saja semua itu bergantung kepada guru-guru.