oleh :
Hikmah
PERNYATAAN Mendiknas dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi dan Kompetensi Guru, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi bagi Guru dalam Jabatan yang orientasinya untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Hal ini ditempuh karena adanya tingkat kelulusan dan mutu pendidikan yang dihasilkan masih menimbulkan pro dan kontra dari segenap masyarakat Indonesia.
Terkait dengan itu, maka harus ada tim ahli yang menangani atau memverifikasi usul tentang guru yang akan mengikuti sertifikasi, apakah ia layak atau tidak untuk meraih status sertifikasi. Tim-tim ahli ini harus terbagi dalam tingkatan-tingkatan yakni tingkat SMP dan SMA.
Simbol Sertifikasi Guru
Di dalam dunia pendidikan sertifikasi guru merupakan tingkat profesionalisme guru. Seorang guru yang telah lulus sertifikasi harus mampu menguasai keahlian yang ditekuninya. Indikatornya adalah yang bersangkutan mampu menghasilkan output siswa yang kompeten dan bermutu yang dapat dilihat pada tingkat kelulusan yang semakin meningkat. Sekitar 200.000 guru, sejak 2006 hingga akhir 2007, tergopoh-gopoh mengikuti program sertifikasi profesi guru guna memperoleh tunjangan profesi sebagaimana diamanatkan UU Guru dan Dosen. Guru yang berhak ikut, yang sudah mengantongi ijasah S1 dan diajukan kabupaten/kotamasing-masing Kabupaten/kota ini, memiliki kuota pemberian Depdiknas kepada LPTK (Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan). Para guru diuji kompetensinya melalui setumpuk dokumen bukti kompetensi, seperti sertifikat pelatihan, kemampuan membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), penghargaan dan lainnya. Jika nilai uji dokumen tersebut kurang dari 850, dan peserta tidak melakukan kecurangan (pemalsuan dokumen, menyogok dll), maka mereka dinyatakan tidak lulus uji portofolio dan berhak mengikuti Pendidikan dan Latihan (Diklat) Profesi Guru selama 90 jam. Setelah diklat usai, mereka diuji kembali. Jika lulus, guru berhak memperoleh sertifikat profesi pendidik dan tunjangan sebesar sekali gaji PNS.
Terkait dengan itu, maka harus ada tim ahli yang menangani atau memverifikasi usul tentang guru yang akan mengikuti sertifikasi, apakah ia layak atau tidak untuk meraih status sertifikasi. Tim-tim ahli ini harus terbagi dalam tingkatan-tingkatan yakni tingkat SMP dan SMA.
Simbol Sertifikasi Guru
Di dalam dunia pendidikan sertifikasi guru merupakan tingkat profesionalisme guru. Seorang guru yang telah lulus sertifikasi harus mampu menguasai keahlian yang ditekuninya. Indikatornya adalah yang bersangkutan mampu menghasilkan output siswa yang kompeten dan bermutu yang dapat dilihat pada tingkat kelulusan yang semakin meningkat. Sekitar 200.000 guru, sejak 2006 hingga akhir 2007, tergopoh-gopoh mengikuti program sertifikasi profesi guru guna memperoleh tunjangan profesi sebagaimana diamanatkan UU Guru dan Dosen. Guru yang berhak ikut, yang sudah mengantongi ijasah S1 dan diajukan kabupaten/kotamasing-masing Kabupaten/kota ini, memiliki kuota pemberian Depdiknas kepada LPTK (Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan). Para guru diuji kompetensinya melalui setumpuk dokumen bukti kompetensi, seperti sertifikat pelatihan, kemampuan membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), penghargaan dan lainnya. Jika nilai uji dokumen tersebut kurang dari 850, dan peserta tidak melakukan kecurangan (pemalsuan dokumen, menyogok dll), maka mereka dinyatakan tidak lulus uji portofolio dan berhak mengikuti Pendidikan dan Latihan (Diklat) Profesi Guru selama 90 jam. Setelah diklat usai, mereka diuji kembali. Jika lulus, guru berhak memperoleh sertifikat profesi pendidik dan tunjangan sebesar sekali gaji PNS.
Dari hasil monitoring proses sertifikasi tersebut, ternyata persentase kelulusan guru sesudah mengikuti pendidikan dan pelatihan profesi melebihi 90%, yang tidak lulus hanyalah mereka yang sejak uji portofolio terbukti melakukan kecurangan dan pemalsuan dokumen. Kelulusan sertifikasi portofolio dan diklat yang setinggi itu memang sedikit mencurigakan dan menimbulkan dugaan bahwa mutu guru yang lolos sertifikasi maupun yang tidak, sama buruknya. Pada rancangan diklat profesi guru tahun 2008, bagi peserta yang tidak lulus uji portofolio tahun 2006 dan 2007, tampak itikad untuk meluluskan guru yang tidak lulus sertifikasi portofolio, karena komponen uji kompetensi profesinya berbobot sangat rendah. Ketika guru peserta diklat tidak pernah absen dan dinilai baik oleh teman sejawatnya dan ikut ujian, Sudah Bisa Dipastikan Akan lulus. Artinya, proses sertifikasi secara keseluruhan memang terbukti tidak ada kaitan dengan peningkatan mutu guru. Padahal, setiap peserta dianggarkan Rp 2 juta. Tunjangan profesi juga dipertanyakan maknanya, karena terbukti yang lulus belum kompeten secara profesional (Depdiknas 2004). Untuk hal-hal ini, pemerintah Menyisihkan Uang Rp 400 miliar.
Banyak sedikitnya siswa yang tidak lulus dalam ujian nasional tentu saja terkait dengan profesionalisme guru yang telah mengikuti sertifikasi. Jika ingin meningkatkan mutu profesional guru, uji portofolio harus menjadi tes awal kompetensi guru. Ketika guru tidak lulus, karena memang kurang profesional, maka dilakukan diklat profesi dengan materi yang sesuai untuk menutupi kekurangan tersebut. Secara teknis memang rumit, tetapi tidak ada jalan menuju perbaikan mutu yang mudah dan cepat. Program pendidikan profesi selama setahun, meski disokong peraturan perundangan, mesti dikontrol ketat, karena dikuatirkan hanya akan mendidik guru menjadi ilmuwan pendidikan (Education Scientist), bukan Guru Profesional Yang Terampil mendidik.
Bukan Sekadar Status Sosial
Guru yang lulus sertifikasi merupakan jabatan yang disandang oleh seorang guru yang telah profesional di bidangnya. Maka seorang guru yang telah memperoleh gelar ini mestinya menjadi penggerak utama dalam pendidikan. Guru sertifikasi tentunya harus memiliki kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogik, kompetensi profesional dan kompetensi sosial. Jika seorang guru yang telah lulus sertifikasi tidak menghasilkan output siswa yang bermutu, tentu bisa dipertanyakan kesertifikasiannya.
Menurut robert K. Merton, seseorang akan memiliki dua fungsi sekaligus di dalam relasinya dengan dunia sosial. Ada yang disebutnya sebagai fungsi manifes dan fungsi laten. Fungsi manifes guru sertifikasi adalah sebagai tenaga pendidik profesional yang diyakini mampu melaksanakan tugas mendidik, mengajar, melatih, membimbing, dan Menilai Hasil Belajar Peserta didik. Selain itu, fungsi laten guru sertifikasi adalah meningkatnya status sosial di masyarakat dan meningkatnya gaji PNSnya.
Oleh karena itu, yang terpenting adalah bagaiman menyeimbangkan antara fungsi manifes dan fungsi laten. Jangan sampai Cuma fungsi laten yang di utamakan yang akan mengakibatkan sikap sombong dan tidak bermutunya sertifikasi guru yang telah diikutunya. Justru yang lebih penting adalah bagaimana mengembangkan fungsi manifes dalam dunia pendidikan yang orientasinya pada peningkatan mutu pendidikan.
Adanya anggapan bahwa rendahnya kualitas pendidikan disebabkan oleh rendahnya kesejahteraan guru. Maka pemerintah pun telah banyak melakukan usaha-usaha untuk mensejahterakan guru yang salah satunya adalah menaikkan anggaran sektor pendidikan. Apabila jalan kesejahteraan guru yang ditempuh oleh pemerintah yang mungkin dapat dilihat pada 5 atau 10 tahun mendatang, ternyata tidak meningkatkan kualitas pendidikan maka anggapan ini sangatlah keliru. Artinya, rendahnya kualitas pendidikan tidak disebabkan oleh kesejahteraan guru tetapi semata-mata karena kinerja guru-guru.
Beban dan tanggung jawab ke depan adalah bagaimana meningkatkan kualitas pendidikan untuk mencetak pemuda-pemudi yang kompeten dan bermutu agar setara dengan negara-negara lain di dunia. Sebab di tangan pemudalah tonggak kebangkitan bangsa ini. Tentu saja semua itu bergantung kepada guru-guru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar